Kasihan Kelinci....
“Sekarang rumahnya berjubel
Oow padat penghuninya
Anak-anak segudang
Grudak gruduk kaya' kelinci “
-kutipan
lagu “gang kelinci” ciptaan Titiek Puspa”
Pernahkah
anda mendengar lagu diatas ? Kutipan lagu ciptaan Titiek Puspa era 80n diatas
mungkin bisa menggambarkan bagaimana keadaan Indonesia setelah terpengaruh
pertambahan penduduk. Tambah padat ? jelas. Tambah ramai ? sudah pasti. Tambah
sejahtera ? ini yang masih jadi pertanyaan dan perhatian kita saat ini. Menurut
kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dikatakan sejahtera adalah aman sentosa dan
makmur, selamat (terlepas dr segala
macam gangguan). Jika kita merujuk dari definisi diatas sudah jelas nampaknya
Indonesia masih jauh dari kata yang dinamakan sejahtera tersebut. Apalagi dalam
kesejahteraan Sosial Ekonomi.
Sedang
marak dibicarakan kasus-kasus pelecehan terhadap anak-anak yang melibatkan
orang-orang dekat dan kepercayaan orang tua. Tentu masih hangat dalam ingatan
kita mengenai kasus kejahatan seksual yang terjadi di Sukabumi dimana seorang
pelaku, 24 tahun mampu melakukan
pelecehan seksual terhadap sekitar 60 anak. Ironisnya, pelaku hanya membujuk
rayu korbannya dengan diiming-imingi uang sebesar Rp 25.000 – Rp 50.000. Memang untuk anak-anak nominal tersebut
dipandang besar, namun pada dasarnya pengawasan dan pembelajaran dari orang
tualah yang lebih mendasar alasan kenapa para korban mudah terbujuk rayu.
Bagaimana dengan status sosial ekonomi ? alasan ini merupakan alasan klasik
yang akan disampaikan orang tua masa kini. Sibuk kerja untuk memenuhi biaya
kehidupan sehari-hari seringkali menjadi seperti sebuah puisi yang disampaikan
dengan haru biru ketika ditanyakan mengapa terjadi sesuatu yang kurang baik
yang terjadi pada seorang anak. Apakah kurangnya status ekonomi menjamin sebuah
kesejahteraan ?
Sebuah
sekolah internasional, menjadi sorotan akhir-akhir ini dikarenakan kasus
pelecehan seksual yang dilakukan oleh beberapa lapisan sekolah. Mulai dari
petugas kebersihan sampai tenaga pengajar.
Mungkin agak sulit dibayangkan, ketika sebuah sekolah Internasional
sampai melakukan kelalaian seperti itu. Beberapa petugas kebersihan melakukan
hal yang tidak bermoral terhadap seorang anak yang mungkin orang tua anak
tersebut akan mampu membayar gaji dari mereka seorang diri. Bahkan lebih
parahnya, setelah kasus ini terkuak, ternyata ada seorang pengajar dalam
sekolah tersebut yang menderita pedofilia (gangguan jiwa dimana penderita akan
menyukai anak-anak yang terpaut jauh usianya). Ketika dikonfirmasi, sekolah
tersebut mengakui tidak mengetahui mengenai hal tersebut. Ini membuktikan bahwa status sosial tidak
mampu menjamin kesejahteraan seorang anak.
Anak-anak
merupakan generasi penerus bangsa,
sudahkah para orang tua mempersiapkan para penerusnya dengan baik ? ini yang
menjadi pertanyaan. Kadang terbesit dalam fikiran, mengapa harus punya banyak
anak dalam era modern seperti ini ? anak banyak berarti banyak amanah. Banyak
amanah berarti tentu harus bekerja lebih dan lebih agar amanah tersebut bisa
terjaga dan terpelihara dengan baik. Mungkin jika dibandingkan dahulu, akan
jauh lebih sulit di era yang serba modern ini, padat penduduk tentu akan lebih
sulit melakukan persaingan dalam hal mencari atau mempertahankan status ekonomi
jika tidak berbekal pendidikan, ketekunan dan usaha ekstra. “Banyak Anak,
banyak rezeki” mungkin untuk saat ini, ungkapan tersebut hanya dapat dicocokan
dengan para PNS dimana untuk masing-masing kepala keluarga diberikan tunjangan
anak setiap bulannya. Tentu akan berbeda untuk seseorang yang mempunya anak
satu dengan yang mempunyai anak lima dalam hal tunjangan. Pemerintah mungkin
beranggapan seorang anak sebagai “tunjangan” sebagai “aset negara” cikal bakal
pemimpin masa depan. Namun untuk kepala keluarga yang non PNS ? pedagang
misalnya, apakah pembeli akan bertanya berapa anak yang dimiliki baru kemudian
membeli ? mungkin 1 dari 10.000 pembeli yang melakukan hal tersebut.
Zaman
semakin canggih, populasi semakin padat tentu sudah seharusnya kita melakukan
perubahan dan perbedaan yang inovatif kearah yang lebih baik agar dapat
bertahan dalam kerasnya arus hidup yang harus kita jalani setiap harinya.
Terlalu dini memang apabila kita berbicara mengenai masalah kesejahteraan
sosial dan ekonomi. Banyak hal dan faktor yang akan bergabung menjadi sebuah
benang kusut yang untuk mengurainya, kita harus membuka satu demi satu simpul
yang ada didalamnya. Hal inilah yang sedang digalakkan oleh pemerintah. Banyak
program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial
ekonomi diantaranya : upah harian minimum, sertifikasi guru, dibuatnya
undang-undang tentang tenaga kerja, perlindungan anak dan perempuan dan masih
banyak lagi. Namun, terlepas dari itu semua, ada suatu hal yang seringkali
dilupakan oleh pemerintah. Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati ? Upaya
pencegahan dari faktor-faktor yang mungkin akan menyulitkan melakukan program
tersebut.
Solusi
atau program yang dapat diadaptasi dan dikaji lebih dalam lagi oleh pemerintah adalah mengenai kepadatan
penduduk. Di Indonesia, kepadatan penduduk bukan lagi hal yang main-main yang
dianggap sepele. Pernahkah anda berkunjung ke sebuah objek wisata atau pusat
perbelanjaan yang pengunjungnya mungkin mencapai 10.000 ? diantara semua orang
tersebut, apakah ada yang anda kenal ? mungkin ada namun mungkin jumlahnya akan
jauh lebih sedikit dari yang tidak dikenal. Ini membuktikan bahwa penduduk
Indonesia memang sudah sangat padat. Kepadatan penduduk ini apakah diimbangi
oleh keseimbangan ekonomi ? jawabannya pasti belum. Hal ini dibuktikan dari
belum terjaminnya kesejahteraan sosial ekonomi seorang anak. Menurut UNICEF,
akar masalah dari kasus kurang gizi seorang anak adalah krisis ekonomi, politik
dan sosial dari orang tuanya atau dapat dilihat dari konsep kerja SKPG ( sistem
kewaspadaan pangan dan gizi )
Pada
konsep kerja SKPG, bisa dilihat upaya sangat dini yang dapat dilakukan adalah
menyediakan makanan dimasyarakat dan meningkatkan pendapatan yang menurun.
Pendapatan dan penyediaan pangan tentu disesuaikan dengan jumlah masyarakat itu
sendiri sehingga cara efektif yang mudah adalah dengan mengurangi jumlah
penduduk terlebih dahulu. Program keluarga berencana sudah berhasil mengurangi
jumlah penduduk, yang belum dibuat adalah pengefektifan dari fungsi keluarga
tersebut. Perlu dibuatnya pedoman keluarga bahagia mencakup didalamnya kriteria
keluarga yang bisa menganjurkan jumlah anak dalam satu keluarga. Misalkan
sebuah keluarga dengan penghasilan rata-rata perbulan hanya sekitar 1 juta
rupiah hanya dianjurkan memiliki 1 anak agar lebih fokus menyejehterakan anak
dan keluarganya setidaknya dalam bidang ekonomi. Akan berbeda dengan keluarga
lain yang berpenghasilan 10 juta perbulan diperbolehkan memiliki anak 2 atau
lebih. Penjelasan ini bisa dikombinasikan dengan program KB sehingga dapat
lebih efektif. Lebih baik apabila dalam periode tertentu kriteria tersebut
bukan lagi menjadi sebuah anjuran namun sebuah aturan dengan dasar hukum yang
kuat sehingga akan lebih berjalan sesuai rencana.
Semua rencana,
program dan keinginan untuk memperbaiki Indonesia lebih baik,hendaknya mulai
ditanamkan sedini mungkin. Jika bukan para orang tua dan pemerintah yang
menjamin kesejahteraan sosial dan ekonomi seorang amanah yang dinamakan anak, lalu
siapa lagi ? haruskah kelinci-kelinci kecil penerus bangsa menjadi terdesak dan
tidak berkembang hanya karena ketidak jelasan dan ketiadaan program yang jelas
untuk menjamin kesejahteraannya ? mari kita bersama-sama melihat lebih dalam
dan bijaksana dalam memahami sebuah kata yang dinamakan sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar