Rabu, 28 Mei 2014

Pengaruh Pertambahan Penduduk terhadap Kesejahteraan Sosial Ekonomi

Kasihan Kelinci....

“Sekarang rumahnya berjubel
Oow padat penghuninya
Anak-anak segudang
Grudak gruduk kaya' kelinci “
-kutipan lagu “gang kelinci” ciptaan Titiek Puspa”

Pernahkah anda mendengar lagu diatas ? Kutipan lagu ciptaan Titiek Puspa era 80n diatas mungkin bisa menggambarkan bagaimana keadaan Indonesia setelah terpengaruh pertambahan penduduk. Tambah padat ? jelas. Tambah ramai ? sudah pasti. Tambah sejahtera ? ini yang masih jadi pertanyaan dan perhatian kita saat ini. Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dikatakan sejahtera adalah aman sentosa dan makmur,  selamat (terlepas dr segala macam gangguan). Jika kita merujuk dari definisi diatas sudah jelas nampaknya Indonesia masih jauh dari kata yang dinamakan sejahtera tersebut. Apalagi dalam kesejahteraan Sosial Ekonomi.


Sedang marak dibicarakan kasus-kasus pelecehan terhadap anak-anak yang melibatkan orang-orang dekat dan kepercayaan orang tua. Tentu masih hangat dalam ingatan kita mengenai kasus kejahatan seksual yang terjadi di Sukabumi dimana seorang pelaku, 24 tahun  mampu melakukan pelecehan seksual terhadap sekitar 60 anak. Ironisnya, pelaku hanya membujuk rayu korbannya dengan diiming-imingi uang sebesar Rp 25.000 – Rp 50.000.  Memang untuk anak-anak nominal tersebut dipandang besar, namun pada dasarnya pengawasan dan pembelajaran dari orang tualah yang lebih mendasar alasan kenapa para korban mudah terbujuk rayu. Bagaimana dengan status sosial ekonomi ? alasan ini merupakan alasan klasik yang akan disampaikan orang tua masa kini. Sibuk kerja untuk memenuhi biaya kehidupan sehari-hari seringkali menjadi seperti sebuah puisi yang disampaikan dengan haru biru ketika ditanyakan mengapa terjadi sesuatu yang kurang baik yang terjadi pada seorang anak. Apakah kurangnya status ekonomi menjamin sebuah kesejahteraan ?

Sebuah sekolah internasional, menjadi sorotan akhir-akhir ini dikarenakan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh beberapa lapisan sekolah. Mulai dari petugas kebersihan sampai tenaga pengajar.  Mungkin agak sulit dibayangkan, ketika sebuah sekolah Internasional sampai melakukan kelalaian seperti itu. Beberapa petugas kebersihan melakukan hal yang tidak bermoral terhadap seorang anak yang mungkin orang tua anak tersebut akan mampu membayar gaji dari mereka seorang diri. Bahkan lebih parahnya, setelah kasus ini terkuak, ternyata ada seorang pengajar dalam sekolah tersebut yang menderita pedofilia (gangguan jiwa dimana penderita akan menyukai anak-anak yang terpaut jauh usianya). Ketika dikonfirmasi, sekolah tersebut mengakui tidak mengetahui mengenai hal tersebut.  Ini membuktikan bahwa status sosial tidak mampu menjamin kesejahteraan seorang anak.

Anak-anak merupakan generasi  penerus bangsa, sudahkah para orang tua mempersiapkan para penerusnya dengan baik ? ini yang menjadi pertanyaan. Kadang terbesit dalam fikiran, mengapa harus punya banyak anak dalam era modern seperti ini ? anak banyak berarti banyak amanah. Banyak amanah berarti tentu harus bekerja lebih dan lebih agar amanah tersebut bisa terjaga dan terpelihara dengan baik. Mungkin jika dibandingkan dahulu, akan jauh lebih sulit di era yang serba modern ini, padat penduduk tentu akan lebih sulit melakukan persaingan dalam hal mencari atau mempertahankan status ekonomi jika tidak berbekal pendidikan, ketekunan dan usaha ekstra. “Banyak Anak, banyak rezeki” mungkin untuk saat ini, ungkapan tersebut hanya dapat dicocokan dengan para PNS dimana untuk masing-masing kepala keluarga diberikan tunjangan anak setiap bulannya. Tentu akan berbeda untuk seseorang yang mempunya anak satu dengan yang mempunyai anak lima dalam hal tunjangan. Pemerintah mungkin beranggapan seorang anak sebagai “tunjangan” sebagai “aset negara” cikal bakal pemimpin masa depan. Namun untuk kepala keluarga yang non PNS ? pedagang misalnya, apakah pembeli akan bertanya berapa anak yang dimiliki baru kemudian membeli ? mungkin 1 dari 10.000 pembeli yang melakukan hal tersebut.

Zaman semakin canggih, populasi semakin padat tentu sudah seharusnya kita melakukan perubahan dan perbedaan yang inovatif kearah yang lebih baik agar dapat bertahan dalam kerasnya arus hidup yang harus kita jalani setiap harinya. Terlalu dini memang apabila kita berbicara mengenai masalah kesejahteraan sosial dan ekonomi. Banyak hal dan faktor yang akan bergabung menjadi sebuah benang kusut yang untuk mengurainya, kita harus membuka satu demi satu simpul yang ada didalamnya. Hal inilah yang sedang digalakkan oleh pemerintah. Banyak program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi diantaranya : upah harian minimum, sertifikasi guru, dibuatnya undang-undang tentang tenaga kerja, perlindungan anak dan perempuan dan masih banyak lagi. Namun, terlepas dari itu semua, ada suatu hal yang seringkali dilupakan oleh pemerintah. Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati ? Upaya pencegahan dari faktor-faktor yang mungkin akan menyulitkan melakukan program tersebut.

Solusi atau program yang dapat diadaptasi dan dikaji lebih dalam lagi  oleh pemerintah adalah mengenai kepadatan penduduk. Di Indonesia, kepadatan penduduk bukan lagi hal yang main-main yang dianggap sepele. Pernahkah anda berkunjung ke sebuah objek wisata atau pusat perbelanjaan yang pengunjungnya mungkin mencapai 10.000 ? diantara semua orang tersebut, apakah ada yang anda kenal ? mungkin ada namun mungkin jumlahnya akan jauh lebih sedikit dari yang tidak dikenal. Ini membuktikan bahwa penduduk Indonesia memang sudah sangat padat. Kepadatan penduduk ini apakah diimbangi oleh keseimbangan ekonomi ? jawabannya pasti belum. Hal ini dibuktikan dari belum terjaminnya kesejahteraan sosial ekonomi seorang anak. Menurut UNICEF, akar masalah dari kasus kurang gizi seorang anak adalah krisis ekonomi, politik dan sosial dari orang tuanya atau dapat dilihat dari konsep kerja SKPG ( sistem kewaspadaan pangan dan gizi )


Pada konsep kerja SKPG, bisa dilihat upaya sangat dini yang dapat dilakukan adalah menyediakan makanan dimasyarakat dan meningkatkan pendapatan yang menurun. Pendapatan dan penyediaan pangan tentu disesuaikan dengan jumlah masyarakat itu sendiri sehingga cara efektif yang mudah adalah dengan mengurangi jumlah penduduk terlebih dahulu. Program keluarga berencana sudah berhasil mengurangi jumlah penduduk, yang belum dibuat adalah pengefektifan dari fungsi keluarga tersebut. Perlu dibuatnya pedoman keluarga bahagia mencakup didalamnya kriteria keluarga yang bisa menganjurkan jumlah anak dalam satu keluarga. Misalkan sebuah keluarga dengan penghasilan rata-rata perbulan hanya sekitar 1 juta rupiah hanya dianjurkan memiliki 1 anak agar lebih fokus menyejehterakan anak dan keluarganya setidaknya dalam bidang ekonomi. Akan berbeda dengan keluarga lain yang berpenghasilan 10 juta perbulan diperbolehkan memiliki anak 2 atau lebih. Penjelasan ini bisa dikombinasikan dengan program KB sehingga dapat lebih efektif. Lebih baik apabila dalam periode tertentu kriteria tersebut bukan lagi menjadi sebuah anjuran namun sebuah aturan dengan dasar hukum yang kuat sehingga akan lebih berjalan sesuai rencana.


Semua rencana, program dan keinginan untuk memperbaiki Indonesia lebih baik,hendaknya mulai ditanamkan sedini mungkin. Jika bukan para orang tua dan pemerintah yang menjamin kesejahteraan sosial dan ekonomi seorang amanah yang dinamakan anak, lalu siapa lagi ? haruskah kelinci-kelinci kecil penerus bangsa menjadi terdesak dan tidak berkembang hanya karena ketidak jelasan dan ketiadaan program yang jelas untuk menjamin kesejahteraannya ? mari kita bersama-sama melihat lebih dalam dan bijaksana dalam memahami sebuah kata yang dinamakan sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar